SURAKARTA,newsline.id – Pergantian tahta di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada awal 2000-an menjadi salah satu episode paling rumit dalam sejarah kerajaan Jawa modern. Seusai wafatnya Pakubuwono XII pada Juni 2004, dua putranya—KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan—sama-sama menyatakan diri sebagai penerus sah, memunculkan fenomena “raja kembar” di lingkungan keraton.
Perselisihan itu berlangsung bertahun-tahun dan sempat memecah loyalitas para abdi dalem serta keluarga besar. Namun, Hangabehi akhirnya dinobatkan sebagai Susuhunan dengan gelar Pakubuwono XIII pada September 2004. Sejak saat itu, ia memegang tanggung jawab menjaga kelestarian adat dan wibawa keraton di tengah berbagai tekanan internal dan eksternal.
Upaya rekonsiliasi baru benar-benar tercapai pada 2012 ketika Tejowulan secara terbuka mengakui kepemimpinan Hangabehi. Kesepakatan tersebut menutup babak panjang pertentangan sekaligus menjadi titik balik dalam upaya menata kembali peran keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Di masa pemerintahannya, Pakubuwono XIII dikenal berupaya menyeimbangkan nilai tradisi dan pembaruan. Ia mendorong kegiatan budaya di dalam keraton tetap hidup, sembari membuka ruang dialog dengan pemerintah daerah dan masyarakat modern agar keraton tetap relevan di tengah perubahan zaman.(*)









