Jakarta, dotNews.id – Seluruh jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen dan Tindak Pidana Khusus untuk menunda proses pemeriksaan tahap penyelidikan maupun penyidikan terhadap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Perintah ini disampaikan langsung Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam memorandum Jaksa Agung ST Burhanuddin seperti dikutip dari keterangan resmi yang dirilis Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, I Ketut Sumedana, Minggu (20/8/2023).
Tak cuma itu, penundaan pemeriksaan juga berlaku untuk calon anggota legislatif dan calon kepala daerah sejak ditetapkan dalam pencalonan sampai selesainya rangkaian proses dan tahapan Pemilu 2024.
Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta agar penanganan laporan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan capres dan cawapres, caleg, serta calon kepala daerah perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Tujuannya untuk mengantisipasi adanya indikasi terselubung yang bersifat “Black Campaign”, yang dapat menjadi hambatan terciptanya pemilu yang sesuai dengan prinsip serta ketentuan perundang-undangan.
“Hal itu dilakukan guna mengantisipasi dipergunakannya proses penegakan hukum sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, dikutip dari keterangan resmi, dilansir tempo.co.
Jaksa Agung juga meminta jajarannya segera melaporkan hasil pelaksanaannya pada kesempatan pertama. Selain itu, demi mengoptimalisasi peran intelijen Kejaksaan dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024, Jaksa Agung meminta mereka untuk memetakan potensi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) dalam proses pemilihan umum sebagai bentuk deteksi dan pencegahan dini.
“Segera melakukan langkah-langkah strategis dalam rangka menciptakan pelaksanaan pemilihan umum yang sesuai dengan prinsip serta ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Burhanuddin.
ST Burhanuddin juga meminta jajarannya segera berkoordinasi dengan para stakeholders yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum dan melaporkan hasil pelaksanaannya.
Jaksa Agung juga meminta jajaran Tindak Pidana Umum untuk mengidentifikasi dan inventarisasi segala bentuk potensi tindak pidana pemilihan umum, baik yang terjadi sebelum, saat pelaksanaan, maupun pasca diselenggarakannya pemilu. Jajaran Tindak Pidana Umum Kejaksaan juga diminta menyusun petunjuk teknis terkait penanganan tindak pidana pemilu untuk mengantisipasi terjadinya disparitas dalam penanganan perkara.
Jaksa Agung mengingatkan Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Karena itu Kejaksaan harus aktif, kolaboratif, dan koordinatif dalam setiap penanganan laporan pengaduan tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus yang melibatkan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, serta calon kepala daerah.
Menurut Burhanuddin, hal ini perlu penanganan secara khusus dengan tetap mengedepankan kecermatan dan kehati-hatian guna mengantisipasi adanya indikasi terselubung yang bersifat black campaign yang dapat menghalangi suksesnya pemilu.
“Ini penting untuk menghindari penegakan hukum Kejaksaan dipergunakan sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu,” kata ST Burhanuddin.
Jaksa Agung berharap agar pejabat Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen dapat mengolah dan menelaah masalah-masalah berdasarkan keahlian, guna memitigasi permasalahan, sebelum muncul ke permukaan. Ia juga mengingatkan kepada jajaran Kejaksaan agar netral dalam Pemilu 2024.
Menurut Burhanuddin, perintah ini selaras dengan poin ketujuh Perintah Harian Jaksa Agung 2023 untuk selalu menjaga netralitas personel dalam menyongsong pemilu serentak 2024.
“Kejaksaan harus senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi netralitas dengan tidak memihak atau berafiliasi dengan partai politik ataupun kepentingan politik mana pun, terlebih dalam pelaksanaan tugas pokok fungsinya, khususnya dalam penegakan hukum,” kata ST Burhanuddin.
Menjelang Pemilu 2024, Jaksa Agung menyampaikan bahwa banyak pihak merasa resah atas polarisasi yang semakin tajam di masyarakat. Ia menuturkan hoaks dan fitnah terus disebarkan untuk menciptakan kebencian dan ketakutan.
“Hal-hal seperti ini kerap kali terjadi dalam negara demokrasi. Namun jika terus dibiarkan dan tidak dilakukan mitigasi, maka hal ini akan membesar menjadi konflik horisontal yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” tutur Jaksa Agung.(tempo.co)